Asuransi Kesehatan Mengenal Asuransi Syariah

Asuransi Kesehatan Mengenal Asuransi Syariah - Hallo sahabat asuransi kesehatan, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Asuransi Kesehatan Mengenal Asuransi Syariah, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Asuransi Syariah, Artikel Info Asuransi, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Asuransi Kesehatan Mengenal Asuransi Syariah
link : Asuransi Kesehatan Mengenal Asuransi Syariah

Baca juga


Asuransi Kesehatan Mengenal Asuransi Syariah

Asuransi syariah merupakan produk yang sekarang banyak dilirik dan dikembangkan perusahaan asuransi, dan ternyata peningkatan unit perjuangan syariah pada tahun-tahun ini bisa menyaingi produk asuransi konvensional. Akhirnya muncullah perusahaan-perusahaan asuransi gres dengan memfokuskan diri pada label asuransi syariah.

Mengingat semakin maraknya persaingan antar perusahaan asuransi, maka disini saya mencoba mengulas asuransi syariah. Baiklah, hakikatnya insan merupakan keluarga besar kemanusiaan. Guna bisa meraih kehidupan bersama, insan kemudian saling tolong menolong dan saling membantu dengan menanggung kesulitan antara insan yang satu dengan insan lainnya. Adanya saling tolong menolong diantara insan pun menjadi fatwa hudup umat Islam sebagaimana dicontohkan sebagai satu tubuh; jikalau ada satu anggota masyarakat yang sakit, maka yang lain ikut merasakannya. Setidaknya dengan menjenguknya, atau memperlihatkan bantuan. Rasa peduli antar insan ini sanggup mengurangi beban derita orang yang terkena musibah. hal inilah yang menjadi asal muasal terbentuknya sistem Asuransi Syariah. Asuransi syariah pada teorinya lebih pada menghadapi risiko atau petaka dengan pembebanan pada kepentingan bersama atas dasar keedulian dan rasa persaudaraan diantara para penerima pemilik asuransi syariah.

Ada banyak sekali cara bagaimana insan menangani resiko terjadinya musibah, diantaranya:
  1. Pertama yaitu dengan menanggungnya sendiri (risk retention),
  2. Kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain (risk transfer), dan
  3. Ketiga, mengelolanya tolong-menolong (risk sharing).
Cara yang ketiga inilah yang mendasari pembagian resiko dalam asuransi syariah. Esensi asuransi syariah, di dalamnya diterapkan prinsip-prinsip kerjasama, perlindungan, dan saling bertanggungjawab (cooperation, protection, mutual responsibility). Pedoman Umum Asuransi Syariah yaitu perjuangan saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan/atau dengan nama lain disebut tabarru’ yang memperlihatkan pola untuk menghadapi risiko tertentu melalui janji (transaksi) yang sesuai dengan syariah, yaitu janji yang tidak mengandung maghrib; maysir (perjudian), gharar (penipuan) dan riba. Sifat dalam asuransi syariah akan meminimalisir hal-hal yang lebih mengutamakan kepentingan langsung atau dorongan mendapatkan laba semata-mata. Namun ada pula yang mengakibatkan asuransi sebagai ajang spekulasi (maysir), yang menjadi asuransi sebagai janji jual beli atau tukar menukar (mu’awadlah) bukan janji saling tolong menolong (ta’awun’).

Menurut sejarah, perkembangan asuransi gres muncul pada era 13-14 di Itallia, disaat terdapat sebagian orang yang siap menanggung risiko-risiko di bahari yang kerap menimpa bahtera layar atau penumpangnya dengan imbalan uang tertentu. Lalu sesudah tiga abad, munculah asuransi darat. Awalnya dalam bentuk asuransi kebakaran, yaitu selepas terjadinya kebakaran yang cukup besar di London pada tahun 1666 M yang melalap lebih dari 13000 rumah. Kemudian pada era kedelapan belas hingga pertengahan era kesembilan belas seiring dengan revolusi industri dan meningkatnya risiko tenaga kerja serta banyaknya alat industri muncul bentuk asuransi lainnya, ibarat asuransi seseorang yang mengasuransikan dirinya dari sebuah ancaman yang mungkin menimpa hartanya, ibarat juga mengasuransikan mobilnya dari kecelakaan, janjkematian atau yang lain sebagainya. Sedangkan secara legalitas syariah, sistem asuransi syariah gres diakui dan diadopsi oleh ulama dunia pada tahun 1985. 

Melihat perkembangan asuransi syariah, dimana para pemegang polis dan atau calon nasabah kebanyakan menentukan yang syar'i dengan banyak sekali alasan keamanan investasi atau dengan kata lain 'halal', maka banyak perusahaan asuransi pun menyadari cukup besarnya potensi bisnis asuransi syariah di Indonesia. Selanjutnya, perkembangan asuransi syariah dalam beberapa tahun terakhir cukup menggembirakan. Saat ini, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan jumlah operator asuransi syariah cukup banyak di dunia. Berdasarkan data Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), terdapat 51 pemain asuransi syariah di Indonesia yang telah mendapatkan rekomendasi syariah. Mereka terdiri dari 42 operator asuransi syariah, tiga reasuransi syariah, dan enam broker asuransi dan reasiuransi syariah.

Sebenarnya perbedaan utama antara asuransi syariah dan konvensional terletak pada tujuan dan landasan operasional. Dari sisi tujuan, asuransi syariah bertujuan saling menolong (ta’awuni) sedangkan dalam asuransi konvensional tujuannya penggantian (tabaduli). Dari aspek landasan operasional, asuransi konvensional melandaskan kepada peraturan perundangan, sementara asuransi syariah melandaskan pada peraturan perundangan dan ketentuan syariah. Dari kedua perbedaan ini muncul perbedaan yang lainnya, mengenai relasi perusahaan dan nasabah, keuntungan, memperhatikan larangan syariah, dan pengawasan.

Kepemilikan dana pada asuransi syariah merupakan hak nasabah atau pemegang polis. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (berupa iuran bulanan atau premi) menjadi milik perusahaan, sehingga perusahaan bebas menentukan alokasi investasinya. Dalam mekanismenya, asuransi syari’ah tidak mengenal dana hangus ibarat yang terdapat pada asuransi konvensional. Jika pada masa kontrak penerima tidak sanggup melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana yang telah disetorkan sanggup diambil kembali, kecuali sebagian kecil dana yang telah diniatkan untuk tabarru’ (uang sukarela yang dikumpulkan dan dikelola oleh perusahaan yang kemudian dipakai untuk kepentingan bersama).

Implementasi janji takafuli dan tabarru’ dalam sistem asuransi syariah direalisasikan dalam bentuk pembagian setoran premi menjadi dua. Untuk produk yang mengandung unsur tabungan (saving), maka premi yang dibayarkan akan dibagi ke dalam rekening dana penerima dan satunya lagi rekening tabarru’. Sedangkan untuk produk yang tidak mengandung unsur tabungan (non saving), setiap premi yang dibayar akan dimasukkan seluruhnya ke dalam rekening tabarru’. Keberadaan rekening tabarru’ menjadi sangat penting untuk menjawab pertanyaan seputar ketidakjelasan asuransi dari sisi pembayaran klaim. Misalnya, seorang penerima mengambil paket asuransi jiwa dengan masa pertanggungan 10 tahun dengan manfaat 10 juta rupiah. Bila ia ditakdirkan meninggal dunia di tahun ke-empat dan gres sempat membayar sebesar 40 juta maka jago waris akan mendapatkan sejumlah penuh 10 juta. Pertanyaannya, sisa pembayaran sebesar 60 juta diperoleh dari mana. Disinilah kemudian timbul gharar tadi sehingga diharapkan prosedur khusus untuk menghapus hal itu, yaitu penyediaan dana khusus untuk pembayaran klaim (yang pada hakekatnya untuk tujuan tolong-menolong) berupa rekening tabarru’.

Selanjutnya, dana yang terkumpul dari penerima (shahibul maal) akan diinvestasikan oleh pengelola (mudharib/wakil) ke dalam instrumen-instumen investasi yang tidak bertentangan dengan syariat. Apabila dari hasil investasi diperolah laba (profit), maka sesudah dikurangi beban-beban asuransi, laba tadi akan dibagi antara shahibul maal (peserta) dan mudharib (pengelola) berdasarkan janji mudlarabah (bagi hasil) dengan rasio (nisbah) yang telah disepakati di muka atau membayar fee kepada wakil.

Adapun asuransi janji tijari yaitu model mudlarabah atau wakalah. Secara teknis, mudlarabah yaitu janji kolaborasi perjuangan antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan 100% modal sedangkan pihak kedua menjadi pengelola. Di sini terjadi pembagian untung rugi antara (shahibul maal) dan pihak pengelola/perusahaan asuransi (mudharib). Keuntungan perjuangan secara mudlarabah dibagi berdasarkan kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akhir kelalaian pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan alasannya yaitu kecurangan atau kelalian pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Kontrak bagi hasil disepakati di depan sehingga bila terjadi laba maka pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut. Misalkan kontrak bagi risikonya yaitu 60:40, dimana penerima mendapatkan 40 persen dari laba sedang perusahaan asuransi menerima 60 persen dari keuntungan.

Meski hingga ketika ini janji mudlarabah masih mendominasi kontrak-kontrak asuransi syariah, namun beberapa jago ekonomi Islam mulai memberi “catatan khusus” terhadap jenis janji ini. Penolakan janji mudlarabah difokuskan pada beberapa hal: Definisi profit sharing dalam janji mudharabah yaitu “tingkat pengembalian dana hasil investasi” sedangkan dalam prakteknya, yang terjadi bukan “profit sharing” tapi “surplus sharing” dimana yang dibagihasilkan yaitu “hasil investasi + modal pokok” yaitu dalam kondisi apabila seluruh dana premi yang terkumpul masih tersisa sesudah dikurangi beban asuransi dan biaya operasional.


Demikianlah Artikel Asuransi Kesehatan Mengenal Asuransi Syariah

Sekianlah artikel Asuransi Kesehatan Mengenal Asuransi Syariah kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Asuransi Kesehatan Mengenal Asuransi Syariah dengan alamat link https://asuransikesehatanpilihanterbaik.blogspot.com/2015/07/asuransi-kesehatan-mengenal-asuransi.html

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel